Sejarah Pengadilan Agama Semarang
I. SEJARAH PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG
Menyimak sejarah Pengadilan Agama Semarang tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Kota Semarang dan perkembangan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di seluruh Indonesia pada umumnya atau di Jawa dan Madura pada khususnya.
Sejarah Kota Semarang diawali dengan kedatangan Pangeran Made Pandan beserta puteranya yang bernama Raden Pandan Arang dari Kesultanan Demak di suatu tempat yang disebut Pulau Tirang. Mereka membuka lahan dan mendirikan pesantren di daerah tersebut sebagai sarana menyiarkan agama Islam. Daerah yang subur itu tampak disana sini pohon asam yang jarang. Dalam bahasa jawa disebut Asam Arang. Untuk itu pada perkembangan selanjutnya disebut Semarang. Sultan Pandan Arang II ( wafat 1553 ) putra dari pendiri Desa yang bergelar Kyai Ageng Pandan Arang I adalah Bupati Semarang I yang meletakkan dasar-dasar Pemerintahan Kota yang kemudian dinobatkan menjadi Bupati Semarang pada tanggal 12 Rabiul awal 954 H, bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Tanggal penobatan tersebut dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Semarang.
Dalam bentuknya yang sederhana, Pengadilan Agama Semarang berdiri pada tahun 1828 M dan dikenal sebagai Pengadilan Surambi, telah ada di tengah-tengah masyarakat kaum Muslimin di Indonesia bersamaan dengan kehadiran agama Islam di negeri ini. Demikian pula dengan Pengadilan Agama Semarang telah ada bersamaan dengan masuknya agama Islam di Kota Semarang. Disebut Pengadilan Surambi karena pelaksanaan sidangnya biasanya mengambil tempat di surambi masjid. Tata cara keislaman, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam peribadatan, secara mudah dapat diterima sebagai pedoman, sehingga Peradilan Agamapun lahir sebagai kebutuhan hidup masyarakat muslim sejalan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam sejak dari Samudera Pasai Aceh, Demak, Mataram, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Banten dan Kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
Kemudian, di dalam perkembangannya Peradilan Agama sebagai salah satu Lembaga Hukum mengalami proses pertumbuhan yang begitu panjang dan berliku mengikuti nada dan irama politik hukum dari penguasa. Tidak sedikit batu sandungan dan kerikil tajam serta rongrongan dari berbagai pihak yang muncul sebagai kendala yang tidak henti-hentiya mencoba untuk menghadang langkah dan memadamkan sinarnya. Kedatangan kaum penjajah Belanda di bumi pertiwi ini menyebabkan jatuhnya kerajaan Islam satu
persatu. Sementara itu di sisi lain, penjajah Belanda datang dengan sistem dan peradilannya sendiri yang dibarengi dengan politik amputasi secara berangsur-angsur mengurangi kewenangan Peradilan Agama
Pada mulanya pendapat yang kuat di kalangan pakar hukum Belanda tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Islam yang menjadi dasar, sehingga penerapan hukum dalam peradilanpun diberlakukan peraturan-peraturan yang diambil dari syari’at Islam untuk orang Islam. Di antara pakar hukum tersebut adalah Mr. Scholten Van Oud Haarlem, Ketua Komisi Penyesuaian Undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda, membuat sebuah nota kepada pemerinta Belanda, yang isinya adalah, bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang bumi putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu tetap dalam lingkungan hukum agama serta adat istiadat mereka.
Pakar hukum kebangsaan Belanda yang lain, Prof. Mr. Lodewyk Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927) menyatakan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dialah yang memperkenalkan teori Receptio in Complexu. Teori ini mengajarkan bahwa hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang, sehingga orang Islam Indonesia telah dianggap melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai suatu kesatuan. Pendapat tersebut di ataslah yang akhirnya mendorong pemerintah Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 24 Tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Staatblad Nomor 152 Tahun 1882 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Meskipun dalam bentuknya yang sederhana Pengadilan Agama Semarang telah ada sebelum penjajah Belanda menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, namun dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 24 Tahun 1882, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Staatblad Nomor 152 Tahun 1882, inilah yang menjadi tonggak sejarah mulai diakuinya secara Juridis Formal keberadan Peradilan Agama di Jawa dan Madura pada umumnya dan Pengadilan Agama Semarang pada khususnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pada mulanya pendapat yang kuat di kalangan pakar hukum Belanda tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Islam yang menjadi dasar, sehingga penerapan hukum dalam peradilanpun diberlakukan peraturan-peraturan yang diambil dari syari’at Islam untuk orang Islam. Namun kemudian terjadi perubahan pada politik hukum pemerintah Hindia Belanda akibat pengaruh dari seorang Orientalis Belanda Cornelis Van Vollenhoven (1874–1953) yang memperkenalkan Het Indische Adatrecht dan Cristian snouck Hurgronye (1957–1936) yang memperkenalkan teori Receptie yang mengajarkan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, hukum Islam baru dapat mempunyai kekuatan untuk diberlakukan apabila sudah diresepsi oleh hukum adat, dan lahirlah ia keluar sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam.
Perubahan politik hukum yang menjurus pada politik hukum adat ini jelas mempunyai tujuan untuk mendesak hukum Islam dengan dalih untuk mempertahankan kemurnian masyarakat adat. Politik hukum adat yang ditanamkan oleh pemerintah kolonial Belanda ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada sebagian besar Sarjana Hukum Indonesia sehingga setelah Indonesia merdekapun teori tersebut masih dianggap sebagai yang paling benar. Usaha penghapusan Lembaga Peradilan Agama tersebut hampir berhasil ketika pada tanggal 8 Juni 1948 disahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan, yang memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum, atau dengan kata lain, eksistensi Peradilan Agama yang berdiri sendiri telah dihapuskan. Tetapi beruntunglah Allah swt masih melindungi, Undang-undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku.
Kembali ke sejarah Pengadilan Agama Semarang, agak sulit untuk mendapatkan bukti-bukti peninggalan sejarah atau arsip-arsip kuno Pengadilan Agama Semarang, karena arsip –arsip tersebut telah rusak akibat beberapa kali Kantor Pengadilan Agama Semarang terkena banjir. Yang paling besar adalah banjir pada tahun 1985. Akan tetapi masih ada beberapa orang pelaku sejarah yang masih hidup yang dapat dimintai informasi tentang perkembangan Pengadilan Agama yang dapat dijadikan sebagai rujukan atau setidak-tidaknya sebagai sumber penafsiran dalam upaya menelusuri perjalanan sejarah Pengadilan Agama Semarang. Berdasarkan kesaksian Bp. Basiron, seorang Pegawai Pengadilan Agama Semarang yang paling senior, beliau pernah melihat sebuah Penetapan Pengadilan Agama Semarang Tahun 1828 Tentang Pembagian Warisan yang masih menggunakan tulisan tangan dengan huruf dan bahasa Jawa. Keterangan tersebut dikuatkan pula dengan keterangan Bapak Sutrisno, pensiunan pegawai Pengadilan Agama Semarang yang sebelumnya pernah menjadi pegawai pada Jawatan Peradilan Agama. Ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Semarang memang telah ada jauh sebelum dikeluarkan staatblaad Tahun 1882.
II. SURAT KEPUTUSAN
III. DAFTAR NAMA KETUA PENGADILAN AGAMA SEMARANG
Berdasarkan arsip yang ada di Pengadilan Agama Semarang dan penuturan dari beberapa pensiunan Pegawai Pengadilan Agama Semarang maka dapat disusun urutan/periodesasi ketua-ketua yang pernah menduduki sebagai pimpinan di Pengadilan Agama Semarang sebagai berikut :
- MUHAMMAD SOWAM, periode 1960 s/d 1965
- R. ABDUL RACHIM, periode 1965 s/d ...
- AHMAD MAKMURI, periode ... s/d 1975
- DARSO HASTONO, periode 1975 s/d 1976
- H. HARUN RASYIDI, S.H., periode 1976 s/d 1983
- H. SYAMSUDDIN ANWAR, S.H., periode 1983 s/d 1988
- H. IMRON, periode 1988 s/d 1991
- H. SUDIRMAN MALAYA, S.H., periode 1991 s/d 1996
- H. YAHYA ARUL, S.H., periode 1996 s/d 2002
- H. YASMIDI, S.H., periode 2002 s/d 2004
- IBRAHIM SALIM, S.H., periode 2004 s/d 2007
- H. WAKHIDUN AR, S.H., M.Hum., periode 2007 s/d 2008
- H. MOH. ICHWAN RIDWAN, S.H., M.H., periode 2008 s/d 2010
- JASIRUDDIN, S.H., M.SI, periode 2010 s/d 2013
- SUHAIMI H M, S.H., M.H., periode 2013 s/d 2015
- H.M. TURCHAN BADRI, S.H., M.H., periode Maret 2016 s/d Oktober 2016
- H. ANIS FUADZ, S.H., periode Oktober 2016 s/d September 2021
- Drs.Abun Bunyamin,S.H,M.H. ,periode 8 Februari 2022 s/d September 2023
IV. GEDUNG KANTOR PENGADILAN AGAMA SEMARANG
Pada awal berdirinya Pengadilan Agama Semarang berkantor di Serambi Masjid Agung Semarang yang dikenal dengan Masjid Besar Kauman yang terletak di Jalan Alun-Alun Barat dekat pasar Johar. Tanah yang sekarang diatasnya berdiri pasar Johar dahulunya adalah Alun-Alun Kota Semarang. Setelah beberapa tahun berkantor di Serambi Masjid, Kemudian menempati sebuah bangunan yang terletak di samping sebelah Utara Masjid. Bangunan tersebut kini dijadikan Perputakaan Masjid Besar Kauman.
Selanjutnya pada masa Wali Kota Semarang dijabat oleh Bapak Hadijanto, berdasarkan Surat Walikota tertanggal 28 Juli 1977 Pengadilan Agama Semarang diberikan sebidang tanah seluas ± 4000 M2 yang terletak di Jalan Ronggolawe Semarang untuk dibangun Gedung Pengadilan Agama Semarang. Gedung Pengadilan Agama Semarang yang terletak di Jalan Ronggolawe Nomor 6 Semarang dengan bangunan seluas 499 M2 diresmikan penggunaannya pada tanggal 19 September 1978.
Kemudian pada tahun 2013 diadakan pembangunan gedung baru 2 (dua) lantai yang berada di kawasan Semarang Barat tepatnya beralamat di Jalan Jenderal Urip Sumoharjo No 5 Semarang, dengan luas tanah ± 3243 M2 bangunan seluas 1.526 M2 untuk gedung bangunan dua lantai dan diresmikan pada tahun 2017
Sumber : Kasubag Kepegawaian