Mengenang Sebuah Tragedi di Balik Muharram
Mengenang Sebuah Tragedi di Balik Muharram
Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Setiap tahun kini umat Islam merayakan tahun baru hijrah. Tahun yang untuk pertama kalinya ditetapkan penggunaannya oleh khalifah Umar bin Khattab ini memulai hitungannya sejak hijrahnya rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Al Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikhul Khulafa’, menukil pendapat Al Askari yang mengatakan, bahwa Umar bin Khattab adalah khalifah pertama yang diberi gelar ‘Amirul Mukminin.’ Beliau juga khalifah pertama yang menentukan peristiwa hijrah sebagai awal tahun penanggalan Islam.” Imam Bukhari, sebagaimana yang juga ditulis oleh As Suyuthi, juga meriwayatkan dalam kitab tarikhnya, dari Ibnu al-Musayyab dia berkata: Orang yang pertama kali menulis penanggalan Islam adalah Umar pada dua tahun setengah masa kekhilafahannya. Dia menulis pada tahun enam belas hijriah berdasarkan usulan yang diberikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Terlepas dari segenap keutamaan bulan Muharram dan Asyuro yang sering kita dengar lewat para pendakwah, sebuah tragedi sekaligus sebuah pelajaran berharga juga terukir bulan awal tahun baru hijrah ini. Tragedi tersebut tidak lain ialah tentang kekejaman yang menimpa Sayyidina Husen bin Ali r.a, cucunda Baginda Rasulullah SAW. Dengan mengacu kepada sejumlah referensi karya para Ulama ternama ( seperti At-Thabari, As-Suyuthi, dan Ibnu Katsir ), Professor Nadirsyah Hosen, yang akrab dipanggil Gus Nadir, menulis sebuah artikel tentang syahidnya Cucunda Rasulullah SAW ini dengan judul “Kisah Lelaki yang Terbunuh Tragis pada 10 Muharram”. Untuk melengkapi khazanah pengetahuan kita, ada baiknya kita ikuti kisah tersebut sebagai berikut:
Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:
“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku.“
“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?“
“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku?“
“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga?”
“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.“
“Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”
Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193). Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi SAW. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat? Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura). Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.
Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).
Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”
Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencatat 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.
Pada hari terbunuhnya Husein, Imam as-Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan.
Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).
Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?“
Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”
Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar? (Baca: https://nadirhosen.net)
Dengan artikel tersebut seolah Gus Nadir sangat ingin menyampaikan sebuah pesan tentang kebrutalan “politik kekuasaan” yang telah membuat dunia penuh darah, termasuk darah para orang-orang mulia. Kisah syahidnya cucu kesayangan rasulullah SAW tentu tidak hanya menjadi duka kelompok Syi’ah tetapi juga duka bagi seluruh ummat Islam. Bahkan, umat Islam di Jawa (tempo dulu) juga selalu mengekspresikan kedukaan ini dengan tidak menggelar pesta pernikahan atau pesta-pesta lain yang mengekpresikan kegembiraan di bulan Suro sebagai nama lain dari Muharram.
Dalam pengantarnya di buku Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), Prof. Hamka menerangkan, jika dirinya ditanya akan berpihak ke mana dalam kasus pertentangan yang terjadi pada masa lalu itu, beliau mengungkapkan bahwa dirinya akan berpendirian seperti para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri, dan Umar bin Abdul Aziz yang berkata: "Itulah darah-darah yang telah tumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku.” (Vide: artikel "Tragedi Karbala, Kematian Husein bin Ali, dan Terbelahnya Islam", https://tirto.id/c4SD)