Berburu Harta (Gono-Gini) ke Pengadilan
Berburu Harta (Gono-Gini) ke Pengadilan
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Pasangan suami istri itu tampak saling bersitegang di Pengadilan Agama. Dari raut muka dan sikap-sikap serius yang ditunjukkan, tampaknya kedua belah pihak sama-sama sedang menyengkatan sesuatu yang amat penting. Kita tentu tidak sempat menanyakan apakah kedua belah pihak sudah bercerai atau sedang mengurus cerai. Dari proses-proses sidang yang berkali-kali dan sesekali hakim pergi ke lokasi dan memeriksa harta-harta mereka di tempat, dapat diketahui bahwa mereka sedang menyengketakan harta.
Dalam dunia peradilan, khususnya yang menyangkut kewenangan Pengadilan Agama, suami istri yang sedang berurusan dengan pengadilan tentang harta ini biasanya sedang menyengkatan harta bersama yang juga sering disebut harta gono-gini. Nomenklatur perkara harta bersama, dalam undang-undang, masih masuk dalam bidang perkawinan. Secara yuridis, perkara ini menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) huruf ( a ) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Cakupan bidang perkawinan tersebut, menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU tersebut, termasuk perkara “penyelesaian harta bersama”.
Eksistensi harta bersama ini juga disebut dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf ( f) yaitu, bahwa harta bersama mencakup semua harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Penyelesaian harta bersama ini biasanya terjadi dengan 2 cara. Pertama, menyelesaikannya bersama-sama dengan ketika kedua belah pihak (suami istri) mengajukan perkara perceraian. Kedua, diselesaikan setelah kedua belah pihak secara resmi bercerai.
Masing-masing cara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Bila diurus bersama-sama dengan perceraian, kelebihannya: suami istri tersebut bisa segera tuntas (cerai sekaligus menyelesaikan harta bersama) dan harta yang disengketakan biasanya relatif masih utuh. Sebab, sering terjadi jika harta bersama diurus setelah bercerai, akibat keculasan masing-masing, sebagiannya digelapkan atau dipindah tangankan ke orang lain.
Kelemahannya, perceraian yang dilakukan berpotensi terkatung-katung. Sebab, jika salah satu pihak yang tidak puas terhadap pembagian harta bersama sering melakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung ( kasasi, bahkan PK). Waktu yang digunakan untuk upaya hukum melalui dua jenjang peradilan tersebut, tentu sangat lama (bertahun-tahun). Padahal, pada saat yang sama perkawinan mereka sudah tidak mungkin dapat disatukan lagi. Akibat negatifnya adalah ketika mereka tidak dapat segera menikah lagi dengan calon pasangan yang baru, akibat status janda atau duda yang belum jelas. Tidak jarang terjadi, mereka lalu melakukan pelanggaran hukum dengan “menikah sirri” atau kumpul kebo dengan calon suami atau istri baru mereka. Itulah sebabnya, dalam konteks demikian, ada himbauan bahwa suami istri yang ketika mengajukan perceraian sebaiknya, bagi yang ingin menyelesaikan harta bersama via litigasi, dapat mengajukannya dengan perkara tersendiri setelah perceraian.
Apabila diurus setelah perceraian, kelebihannya, para suami yang rumah tangganya sudah tidak mungkin dirukunkan lagi itu, dapat segera mendapat kejelasan status janda atau duda, sehingga dapat segera menentukan langkah berikutnya, yaitu menikah lagi dengan calon pasangan mereka masing-masing. Kejelasan status ini tentu dapat segera didapat tanpa harus dibayang-bayangi perkara penyelesaian harta bersama yang biasanya berpotensi mengganjal bagi kedua belah pihak.
Kelemahannya, sering harta bersama yang diurus setelah perceraian oleh salah satu pihak, digelapkan atau dipindah tangankan (dijual) ke orang lain. Bahkan, sering terjadi, salah satu pihak yang culas, sudah melakukan aksinya sebelum perkara perceraiannya diajukan ke pengadilan. Apalagi, biasanya perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan mereka harus bercerai ke pengadilan, telah didahului oleh perpisahan tempat tinggal suami istri yang bersangkutan selama beberapa bulan atau bahkan tahunan. Dalam situasi yang demikian, yang kebetulan menguasasi harta bersama, bisanya dapat dengan leluasa melakukan aksi culasnya dengan menghabiskan sedikit demi sedikit harta bersama yang ada.
Gambaran situasi rumah tangga di atas tentu dapat memberikan motivasi para pihak untuk memilih, apakah saat mengajukan perceraian sekaligus mengumulasikan perkara penyelesaian harta bersama bersama dengan perkara perceraian atau tidak. Yang pasti, Pengadilan Agama akan melayani saja keinginan kedua belah pihak dengan segenap risiko yang harus ditanggung oleh kedua belah pihak.
Kriteria Harta Bersama
Salah satu penyebab, mengapa sengketa harta bersama ini sering berlangsung lama dan berliku, antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang harta bersama. Banyak yang mengira, bahwa harta bersama adalah harta yang didapat secara bersama-sama saat berumah tangga atau semua harta yang didapat setelah berumah tangga, tanpa kecuali. Atau, ada juga yang berpandangan harta yang diatas namakan suami istri, menjadi harta pribadi bagi yang namanya tercantum dalam dokumen yang bersangkutan. Akibat kekeliruan persepsi ini, keliru pula melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap harta yang ada.
Yang juga perlu diketahui, bahwa dalam perkawinan, juga ada harta tetapi dikecualikan dari harta bersama, yaitu harta bawaan dan harta yang diperoleh suami atau istri dari hadiah atau warisan. Terhadap harta yang demikian, pemiliknya (suami atau istri) bebas melakukan perbuatan hukum (tasharruf) seperti menghibahkan, menyedekahkan, menghadiahkan, atau perbuatan hukum lainnya. Meskipun demikian, saat ini, akibat variasi lalu lintas kehidupan yang berdampak kepada variasi sumber ekonomi, dalam praktik banyak masyarakat yang masih bingung menentukan, apakah suatu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan termasuk harta bersama atau bukan.
Sekedar sebagai penambah wawasan memahami aturan hukum dalam UU atau sumber hukum lainnya, ada baiknya kita simak pendapat seorang ahli hukum sekaligus mantan Hakim Agung Mahkamah Agung RI M.Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama. Menurutnya, ada empat ruang lingkup harta bersama. Yang dimaksud ruang lingkup tersebut adalah untuk menentukan apakah suatu harta termasuk harta bersama atau bukan. Keempat ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut :
- Harta yang dibeli selama perkawinan;
- Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama;
- Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan;
- Penghasilan harta bersama dan harta bawaan;
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.