Sukacita Menyambut Ramadhan 1445 H
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
(Marhaban Ya Ramadhan)
Salah satu ‘pernyataan’ yang paling populer setiap menjelang ramadhan tiba adalah kalimat “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”. Pada umumnya umat Islam menganggap kalimat tersebut adalah termasuk salah satu hadits rasulullah SAW. Padahal, dalam softwere al-maktabah al-syamilah, pernyataan tersebut tidak ditemukan dalam kitab hadits mana pun. Kalimat tersebut menjadi sangat terkenal karena tertulis dalam Durratun Nashihin, salah satu kitab yang ditulis oleh Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi, seorang ulama abad 18 asal Konstantinopel (sekarang Kota Istanbul), Turki yang wafat tahun 1224 H/ 1824 M, tidak lama setelah mengarang kitab tersebut.
Meskipun kitab tersebut sangat terkenal karena menjadi rujukan mayoritas para pendakwah, khsusnya kaum tradisional, namun banyak yang menilai bahwa hadits-hadits yang dimuat di dalamnya, termasuk pernyataan tersebut, masuk dalam kategori hadits maudhu’ (palsu). Bahkan, salah seorang Doktor alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia Fakultas Pengajian Islam bidang studi ilmu hadis, Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. juga menjadikan Kitab Durratun Nasihin sebagai objek dalam disertasinya yang berjudul “Kajian Hadis Kitab Durratun Nasihin”. Dalam penelitiannya itu, beliau menyimpulkan bahwa 30% dari total 389 hadis yang ada dalam Kitab Durrot An-Nasihin adalah hadis maudhu’ atau palsu. Dalam kajian ilmu hafdits dibedakan antara hadits “dhaif” dan hadits “maudhu”. Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada rasulullah SAW, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan atau pun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sedangkan hadits maudhu' ialah informasi yang mengatas namakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya “bukan” perkataan Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, saat menjadi salah satu juri pada kontes da’i di salah satu TV swasta, beliau perlu menegur seorang peserta kontes, yang dengan percaya diri menyampaikan pernyataan ‘hadits penggembira’ beramadhan tersebut.
Bagi penekun ilmu hadits, menisbatkan suatu pernyataan palsu kepada rasulullah, betapa pun bagus isi dan redaksinya, tentu sangat dilarang. Para ahli hadits sangat sadar betapa seriusnya konsekuensi yang harus ditanggung orang yang menisbahkan pernyataan yang bukan dari rasulullah kepada beliau. Sebab, secara tegas rasulullah pernah mengancam sikap demikian. Sebagaimana, tertuang dalam hadits sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, rasulullah SAW bersabda:“Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka.”
Akan tetatpi, terlepas dari pro kontra seputar hadits-hadits palsu seputar ramadhan, puasa di bulan memang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam surat al Baqarah ayat 183 Allah dengan tegas memerintahkan puasa ini kepada setiap orang beriman. Betapa pentingnya puasa ini dalam ayat tersebut, Allah juga memaklumatkan bahwa tradisi puasa itu tidak hanya diwajibkan kepada umat beriman (zaman nabi Muhammad) tetapi juga telah diwajibkan kepada umat terdahulu. Ayat tersebut ditutup dengan urgensi mengapa puasa diwajibkan, yaitu membentuk pribadi yang bertakwa.
Sejumlah hadits shahih juga tak kurang memberikan motivasi agar setiap umat Islam mau menjalankan puasa, yang menjadi salah satu rukun Islam ini. Sejumlah kajian pun dari dulu sekarang tidak hentinya dilakukan. Berapa banyak buku agama dan para dai mengulas tentang hikmah puasa. Secara spesifik bahkan secara inter indisipliner, para ahli kesehatan juga melakukan kajian sesuai bidangnya. Dari kajian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa jika dilakukan dengan benar, ternyata puasa di samping dapat membentuk kesehatan batin (bertakwa) sebagai puncak spiritualias, juga dapat membentuk kesehatan jasmani, seperti menurunkan gula darah, menjaga kesehatan jantung, dan sejumlah manfaat kesehatan lainnya.
Pertanyaannya, apakah puasa yang kita lakukan kita maksudkan untuk tujuan-tujuan demikian?
Dalam konteks hubungan Allah sebagai sang pencipta dan manusia sebagai hamba, perintah puasa sejatinya merupakan sebuah konsekuensi, yaitu ada predikat yang wajib disembah, sebagai konsekuensi sebagai pencipta dan predikat sebagai penyembah karena sebagai makhluq (yang diciptakan). Hukum dasar demikian tidak dapat dibantah dan oleh karenanya harus disadari oleh segenap manusia yang beriman. Dalam surat Al Bayyinah ayat 5, Allah telah menegaskan, bahwa manusia tidak diperintah menyembah kecuali melakukannya dengan ikhlas. Ikhlas, menurut Hujatul Islam Abu Hamid al Ghazali sebagaimana ditulis dalam Kitab Qami’ al-Thughyan, yaitu “Apa yang dalam tujuan amalnya, murni untuk mendekatkan diri kepada Allah” ( an yakuna ghardhuhu mahdhun al-taqarruba ilallah).
Dengan kesadaran demikian, maka semua ‘iming- iming’ pahala berupa surga dan ancaman berupa siksa neraka, bagi orang yang mencapai fase tertentu tidak akan memengaruhi sedikit pun gairah untuk menghambakan diri dengan penuh ketulusan kepada Sang Khaliq. Para tokoh sufi seperti Rabi’ah Adawiyah, Ibnu Hazim, dan lain-lain merupakan contoh-contoh manusia yang telah mencapai fase demikian. Kesyukuran mereka telah diciptakan sebagai hamba oleh Dzat Yang Maha Mulia, membuat mereka larut dalam pengabdian yang tulus. Dalam kitabnya “Al-Hikam” Syekh Ibnu Atha’illah, pernah menyindir kita demikian: "Siapa yang menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu atau untuk menghindari hukuman dari-Nya, maka ia belum menunaikan hak kewajibannya terhadap sifat-sifat Allah SWT.”
Yang lebih ekstrim adalah yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah. Sufi perempuan--yang lahir 99 Hijriah/ 717 Masehi di Basrah dan wafat 188 H/ 801 Masehi--ini pernah membuat pernyataan dalam bentuk bait syair yang terkenal sampai sekarang yaitu: “Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya; Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku dari padanya; Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku dari padanya.”
Dengan mengaca para “salafus salih” tersebut, jelaslah bahwa menjalankan perintah, termasuk berpuasa sebulan di bulan ramadhan ini, sejatinya hanya merupakan koneskuensi manusia sebagai hamba yang sudah selayaknya bersyukur karena telah diciptakan oleh Dzat Yang Maha Mulia dengan berbagai kenikamatan yang tidak terhingga. Bagi hamba dengan gradasi keimanan tinggi, “perintah dan larangan” Allah itu, secara sadar dilakukan dan dijauhi tanpa pretensi apa pun. Bahkan, andaikan tanpa surga atau neraka sekalipun. Apalagi, sekedar iming-iming hitungan-hitungan pahala yang membuat para juru dakwah sampai harus mengobral pernyataan-pernyataan bernuansa agama dengan nekat mengatasnamakan rasulullah SAW. Wallahu a’lam.